Sokrates dan Kekuatan Dialog: Bukan Minteri, tapi Memintarkan

Bukan Minteri, tapi Memintarkan
Sokrates dan Kekuatan Dialog: Bukan Minteri, tapi Memintarkan

Dialog itu dari dua kata dia dan logos. Dia itu artinya melintas, menyeberang. Saya ngobrol dengan dia, dia itu yang di sana. Jadi kalau logos itu nalar, kata-kata. Jadi dialog itu berarti lintas nalar, lintas gagasan, lintas ide. 

Bentuknya ngobrol. Jadi jangan salah. Bukan kok. Kemudian Sokrates buka forum perdebatan atau buka forum dialog. ngobrol saja nongkrong di kalau soates ya biasanya di Agora itu di satu tempat di pasar yang siapa saja bisa ngumpul di situ nongkreng-bareng.

 Kalau saya membayangkan hari ini kalian bisa di semacam apalah kafe atau warung atau apa melakukan itu. Mungkin teman-teman pernah baca buku yang judulnya Sokrates Cafe

Nah, itu jenis-jenis semacam itu yo obrolannya ndak harus temanya Sokrates. Saya bilang tadi ndak banyak gagasan-gagasan genuin originalnya Sokrates. Justru yang genuin ya modelnya yaitu model dialog ini.

Jadi dari kata-kata dialogos bentuknya ngobrol, berdebat, menanyakan, mempertanyakan, ketemu bareng-bareng, menemukan jawaban bareng-bareng atau menyepakati kebenaran bareng-bareng.

Jadi orang itu digiring cara berpikirnya dan dia ndak bisa bantah karena pertanyaannya Sokrates rasional sampai kemudian dia menyimpulkan sendiri, "Oh, berarti yang benar itu ini." Nah, terus dipuji oleh Sokrates. Nah, itu gayanya dia. Jadi, dia memang gayanya seperti orang yang tidak tahu apa-apa padahal pintarnya luar biasa. Oh, ini sulit bikin gaya kayak gini. kebalikannya kita hari ini. Kalau kita kan baru ngerti sedikit, gayanya kayak ngerti segala hal. Apa saja dikomentari? Wong ngak pernah nonton sepak bola aja

bisa loh komentar maki-maki sepak bola itu kan luar biasa. Ndak pernah nonton bulu tangkis bisa komentar marah-marah tentang bulu tangkis. Jadi ngerti sedikit merasa tahu banyak hal. kebalikannya Sokrates. Dia ngerti sangat banyak hal, tapi gayanya kayak gak ngerti apa-apa. Dan ini menguntungkan. Kalian ngeri kalau ketemu musuh seperti ini, kan? Tapi bahagialah kalau punya teman seperti ini. Jadi dia ndak hanya minteri kita, tapi membuat kita pintar. Ini ada jarak yang jauh antara minteri dan memintarkan.


Kalau minteri itu memanfaatkan kepintarannya untuk kepentingannya sendiri atas kita itu minteri. Mentang-mentang pintar. Wah, kita didominasi oleh dia. Pokoknya harus manut saya, harus ikut saya. Ini namanya minteri. Kalau memintarkan itu yo ndak cuma nyekoki gagasan biar dia tergantung sama kita, tapi membuat kita cerdas sampai dia mandiri bisa berpikir sendiri. Kalau ada yang malam hari ini posisinya adalah ustaz, guru, pendidik, jadilah guru yang memintarkan, bukan minteri. Jadi minteri itu memanfaatkan ilmunya.


untuk kepentingan dirinya. Nah, jadi bentuknya percakapan, perdebatan, bertanya, mempertanyakan. Jadi bertanya itu karena memang belum tahu. Kalau mempertanyakan itu sudah ada jawabannya, tapi saya kok ragu-ragu itu mempertanyakan. Masa iya sih begitu? Terus menyepakati jawaban. Oh, mungkin yang benar ini. Efeknya menarik. Gaya dialog semacam ini yang pertama jelas orang bisa seperti itu pasti sudah tumbuh dalam dirinya kesadaran. Sadar bahwa dia perlu yang benar. Sadar bahwa aku ini ndak selalu benar.

Ngajak dialog orang yang belum sadar itu akhirnya tidak dialog pasti. Akhirnya mesti gegeran. Karena dia menganggap dirinya sudah pasti benar. Kalau ada orang yang merasa dirinya sudah pasti benar, jangan diajak dialog. Akhire yo mangkel kamu. Diberi argumen apapun yo mental. Kamu beri alasan apapun ndak akan masuk. Jadi dialog itu perlu kesadaran, keterbukaan bahwa ada banyak hal yang aku belum tahu. Aku juga ndak mesti benar. Ahah. Ini orang mau dialog. Tapi kalau sudah mantap yakin benar dengan kebenarannya, yo jangan dialog.

tentang kebenaran itu. Mungkin dialog tentang gimana nih kita berbeda nih caranya biar kita gak gegeran gimana. Itu boleh. Tapi kalau tentang kebenarannya sulit sudah. Jadi kalau Sokrates mengajarkan yao diawali dari kesadaran. Sadar bahwa jangan-jangan saya keliru. Jangan-jangan aku ndak pas, ndak cocok, salah, masihan. Nah, ada kesadaran ini. Tambah banyak dialog gaya Sokrates ini. Tambah sadar aku bahwa kekuranganku banyak. Eh, ternyata banyak hal yang aku ndak tahu ya. Nah, itu tambah punya kesadaran


ini. Teman-teman boleh sering-seringlah diskusi, sering-seringlah baca apapun itu. Nanti teman-teman akan tambah sadar, eh ternyata banyak sekali yang saya gak paham. Banyak sekali yang saya gak tahu. Mungkin selama ini kita merasa sudah pintar karena kita membatasi diri untuk terbuka terhadap apapun materi, apapun sumber. Buku yang enak ya buku ini, ini Pak. Buku yang penting ya buku ini, ini Pak. Itu kan terus kita jadi sempit. Selain buku itu ya ndak kita baca. Selain modal berpikir semacam itu ndak kita jelajahi.


Akhirnya kita yo kalau peribahasanya seperti katak dalam tempurung. Seolah-olah dunia itu hanya seluas itu saja. Yang di luar itu tidak. Nah, sekarang latihan ya. tumbuhkan kesadaran bahwa aku belum tahu. Ini mungkin bisa mengatasi banyak masalah hari ini. Masalah hari ini itu kan era digital ini ada istilah ada disrupsi namanya noisi. Nois itu ramai tapi gak ada isinya. Ribut sekali tapi gak ada mutunya. itu di antara disrupsi digital dan itu menghabiskan waktu, menghabiskan tenaga, menghabiskan pikiran tapi nak manfaat.


Kenapa bisa begitu? Banyak muncul orang yang tidak sadar bahwa aku ini ndak tahu segalanya. Bahkan yang aku anggap tahu pun mungkin masih banyak hal-hal yang masih misteri. Saya dari sekian ratus sudah berapa sesi filsafat itu ya ngaji filsafat kita itu, itu sampai detik ini saya itu masih merasa banyak sekali pikiran-pikiran para filosuf yang saya harus baca lagi, saya harus mendalami lagi. Kenapa bisa begitu? Karena saya nyoba-nyoba membaca kok eh ini belum tahu, itu belum tahu. Ah, masih harus


merujuk ke sana lagi, ke situ lagi. Berarti kesimpulannya belum, saya belum tahu. Saya harus baca lagi, baca lagi. Bahkan mungkin tema tertentu kalau hari ini diulang saya jamin beda dengan ketika saya menjelaskan di sesi sebelumnya. Kenapa sekarang wawasanku tambah? Karena saya baca lagi, baca itu pun saya merasa masih belum. ini masih bisa ditarik ke sana, masih bisa ditarik ke sini. Nah, itu enaknya merasa tidak tahu. Tapi kalau kalian merasa tahu, selesai. Sudah tahu sudah, Pak. Sudah paham


sudah, Pak. Selesai kan? Coba kamu jawab belum. Mesti yang belum yang mana? Nanti bisa digali lagi. Nah, jadi nanti kalau ada dosen ngajar apa gurumu ngajar terus tanyanya sudah paham? Jawab pun belum. Belum, Pak. Tapi dilanjutkan besok saja. Jangan sekarang. Sekarang pulang dulu sudah capek. Jadi jangan merasa sudah tahu, jangan merasa sudah paham, biar kamu ndak mandek. Oke. Dan itu dipraktikkan oleh Sokrates dengan metode dialognya. Yang kedua, efeknya jelas. Orang menemukan sendiri kebenaran


tidak dicekoki, tidak dijejali. Karena dia mikir, karena nak semua orang pintar berpikir, maka Sokrates ini tugasnya mengarahkan saja. Nuntun orang, temukan sendiri dia nonton. Makanya metode ini sering disebut seperti metodenya bidan. Lahirnya pengetahuan itu seperti lahirnya bayi. Lahirnya bayi itu kan yang melahirkan ibunya, bukan bidannya. Bidan itu hanya nuntun kelahirannya biar lancar. Nah, Sokrates ini karena ibunya bidan itu dia memposisikan diri. Tugasku itu hanya seperti bidan saja. Jadi bantu orang melahirkan menemukan

kebenarannya sendiri. Nah, jadi yang kedua ini sisi pengetahuan yang lahir. Kamu kan lebih bangga kalau kebenarannya kamu temukan sendiri. Kalau sekedar ikut yang disampaikan orang yo nak terlalu membanggakan. Kamu misalnya ngomong daki-daki terus temanmu bilang, "Ah, itu dari Pak Faiz kemarin toh." "Ah, itu kamu sudah mengkeret sudah kan?" "Iya bukan dari saya." Ya, tapi coba itu buah pikiranmu sendiri, kamu akan lebih bangga. Dan itu yang dilakukan oleh Sokrates.


Makanya sering saya bilang, guru pendidik yang luar biasa itu tidak hanya guru yang bisa memahamkan muridnya atau siswanya, tapi guru yang bisa menginspirasi. Menginspirasi itu melahirkan kebenarannya sendiri. tidak sekedar menghafalkan dan mengulang saja. Nah, jadi kalian juga kalau ngaji seperti ini ya gak harus kalian hafalkan, kalian telan, mentah-mentah. Lakukan penyesuaian, lahirkan kebenaranmu sendiri. Oh, kalau yang seperti itu dalam hidup saya seperti ini, Pak, situasinya. Nah, itu boleh.


Namanya kamu terinspirasi, tidak sekedar patuh ikut dan mengimitasi. Jadi murid yang bisa mengimitasi gurunya itu luar biasa. Tapi lebih luar biasa lagi kalau dia terinspirasi oleh gurunya dan melahirkan hal-hal baru dan besar. Oke. Terus asumsinya adalah oh itu masih ada ya efeknya yang lain itu etika dan edukasi. Tentu saja ini dialog langsung yang memerlukan tata krama. Jadi ketemunya kan bareng-bareng, kemudian berdebat, berdiskusi. Ini perlu etik. Jadi selain dapat pengetahuan juga ada pelajaran etik. Bagaimana kita

menghargai pendapat orang lain, bagaimana kita ngomong yang tidak menyinggung perasaannya dan lain sebagainya. Ini yang agak kurang hari ini. Kedekatan sosial, pertemuan langsung yang intim, yang intens itu hari ini kan banyak berkurang karena dunia kita banyak di dunia maya. Sehingga banyak orang pintar tapi sisi etiknya luput. Banyak orang luar biasa tapi sisi akhlak dan adabnya meleset. Mungkin karena terlalu sering di dunia maya masuk ke dunia nyata gagap. Jadi tadi pagi saya dimarahi mahasiswa itu


lewat WA, Pak Faiz, saya nunggu Bapak itu sejak jam 09.00 loh, Pak. Ini sudah jam 11.00. Bapak ada di mana ini? Karena nadanya begitu kan. Saya harus minta maaf. Wah, mohon maaf sekali wahai mahasiswaku. [Tepuk tangan] [Musik] Jadi, oke. Yo ndak salah dia mungkin memang perlu banyak contoh, perlu banyak tuntunan karena mungkin pertemuannya ndak panjang karena apalagi kemarin ya mungkin mahasiswa angkatan-angkatan pandemi itu kan ketika tema-tema dasar tentunya bagian akhlak adab itu yo disajikan secara online saja.


Kuliah online itu kan yo menyesatkan itu kan. Jadi di layar laptop itu mahasiswanya ada sambil senyum gini. Tapi kok senyum? Enggak berhenti-berhenti senyumnya. Iya. Ternyata cuma fotonya tok. Jadi pintar dia difoto dulu sambil senyum. Kayak memperhatikan sambil senyum itu ya ternyata meringis tapi foton tok. Nah itu sering kayak gitu. Naho etik ya ketemu langsung lebih mudah ngasih contoh lebih mudah mengingatkan. Dan tentu saja edukasi ada nilai pendidikannya dari gaya dialog ini. Asumsi besarnya apa sih metode dialognya


Sokrates ini? Kata Sokrates, setiap orang punya potensi untuk meraih kebenaran dan kebaikan serta mungkin juga salah. orang itu bisa salah, bisa benar, bisa baik, bisa buruk. Maka jangan hanya dicekoki. Kadang-kadang kalau cuma dicekoki itu khawatirnya konteksnya ndak pas, situasinya ndak sesuai. Misalnya saya kasih wawasan hidup ini harus opo? Wis tema ngaji filsafat harus ikhlas, harus tambah pamrire, harus apa. Sementara konteks hidupmu hari ini mungkin belum nyampai level itu. Akhirnya kamu menerapkannya secara gak


pas. Begitu kamu nilaimu jatuh, saya ikhlas kok, Pak. Semuanya sudah tidak. Ah, itu kan konteks. Kamu hanya menelan saja yang saya sampaikan tanpa melakukan penyesuaian. Kamu tidak membacanya versi dirimu. Kamu hanya mengimitasi yang saya sampaikan. Padahal kamu punya potensi untuk menemukan kebenaranmu sendiri, untuk menemukan kebaikan yang cocok untuk dirimu. Jadi daripada kamu hanya mengimitasi, menghafalkan, ayo kamu kejar sendiri. gunakan akalmu, pikiranmu. Kalian pasti mampu. Wong Allah memberi


fasilitas itu yo untuk semua manusia kok akal budi itu gak hanya untuk orang tertentu. Hanya saja mungkin ada yang mengasahnya serius, ada yang nak terlalu serius mengasahnya sehingga kapasitasnya berbeda-beda. Kalau kalian mau yo pasti bisa kok. Setiap orang punya potensi itu bagian dari pemuliaan Allah pada manusia. Itu bagian dari walaqad karomna bani Adama. Dan sungguh telah kami muliakan bani Adam itu. Jadi semua orang itu berharga mulia, punya hak, punya potensi untuk berpikir dan menemukan


kebenarannya sendiri. Baik. Jadi inilah namanya Sokratic method, metode Sokrates. Kata Plato apa ini komentarnya muridnya. Kata Plato, Sokrates itu gurunya mempertanyakan, menguji, meng-cross check pandangan antar sahabatnya, bukan untuk menyampaikan kebenaran baru pada mereka seperti seorang instruktur. tapi hanya untuk menunjukkan jalan yang mungkin dapat digunakan. Jadi Sokrates itu seperti moderator yang canggih. Jadi kalau sedang di circle-nya sedang membahas sesuatu, dia yang bertanya, dia


yang menguji, dia yang meng-cross check pandangan yang beredar dan pelan-pelan semuanya dituntun sampai pada kesimpulan yang tepat yang disepakati semuanya. Ini kalau bahasa hari ini ya kayak fasilitator atau moderator ya. Yo pengalaman saya banyak moderator itu tidak seperti Sokrates ini. Moderator itu kayak MC. Ee mari kita buka acara terus silakan Pak narasumbernya ada pertanyaan nomor satu silakan dijawab Pak terus selesai mari kita akhiri ee kesimpulannya. Pasti teman-teman punya kesimpulan


sendiri-sendiri. Iya, kan banyak yang begitu. Yah, ngapain kamu jadi moderator tadi? Jadi kalau Sokrates gak? Kalau Sokrates dia punya gayanya sendiri menggiring orang untuk nemu kebenaran. Bahkan kalau moderatornya Sokrates yo nanti narasumbernya diarahkan, diberi pertanyaan macam-macam sampai pada kesimpulan kebenaran. Kalau di kita kan yo narasumber itu pokoknya ditakliti, dipercaya 100%. Kalau ada moderatornya Sokrates itu yo luar biasa. Kita bisa diarahkan sampai menyimpulkan sendiri, tidak sekedar mengikuti apa


yang disampaikan. Maka kata Plato, "Yo tujuannya tidak untuk menggurui, mencekoki seperti instruktur, tapi tujuannya mengarahkan orang, siapa tahu ada jalan baru, ada perspektif baru yang lebih segar." Nah, ini pengakuannya muridnya sendiri Plat oleh Sokrates. Baik, sekarang kita belajar prinsip-prinsipnya. Ada beberapa prinsip dari Sokratik dialog ini. Ini saya ambil dari kalimat-kalimat yang diucapkan langsung oleh Sokrates lewat tulisan-tulisannya Plato. Prinsip pertama ini kata Sokratis. I


cannot teach anybody anything. I can only make them think. Aku tidak bisa mengajar apapun pada seseorang. Yang bisa aku lakukan hanya membuat mereka berpikir. Ini kelihatannya sederhana. Tapi jangan dikira membuat orang berpikir itu mudah. Kalau kalian disuruh milih, mungkin kalian lebih suka lebih enak ngajar sesuatu. Kayak tadi memberitahu, tutur-tutur, mencekoki orang dengan sesuatu. Ini lebih mudah juga lebih menguntungkan. Kalian dianggap orang pintar, kalian mungkin terkenal viral jadi ilmuan, jadi


ulama, jadi ustaz. Model ngajar gini lebih menguntungkan sebenarnya. Tapi kalau Sokrates gak mengambil opsi itu. Dia lebih mengambil opsi yang tidak terlalu menguntungkan padahal sulit tapi manfaatnya besar. Yaitu apa? Membuat orang berpikir. Oh itu gak sederhana membuat orang berpikir itu. Kalau membuat orang marah gampang, membuat orang tersinggung gampang, membuat orang baper gampang, tapi membuat orang berpikir sulit. Jadi membuat orang penasaran kemudian ingin merenung secara dalam itu gak


gampang. Manusia itu biasanya ketika usianya beranjak dewasa lebih suka mengikuti kenyamanan hidup bukan tantangan hidup. Sehingga akhirnya yo kalau ada hal-hal yang dianggap mengusik pikirannya, dia harus berpikir ulang, dia harus mengevaluasi ulang hidupnya, biasanya kita cenderung enggan ndak mau. Ngapain sih repot-repot? Ngapain sih capek-capek? Kayak di minggu pertama ketika Sokrates meminta kita merenungi hidup kita itu kan kita lebih banyak alah, Pak gak usah begitu-begitulah. Hidup biasa saja


seperti biasanya. Asik-asyik aja lah, Pak. Enggak usah ruwet-rewet. Kan kita lebih milih begitu. Jadi mendorong kita berpikir itu sulitnya luar biasa. Bahkan kuliah mungkin mahasiswa S1, S2, S3 itu mungkin lebih suka hanya dosennya bilang apa, saya ingat-ingat saya hafalkan. Kan sebagian besar begitu. Tidak terdorong berpikir sendiri. Nah, Socrates memposisikan diri sebaliknya. I can only make them think. Aku hanya bisa membuat mereka berpikir. Ini seolah-olah sederhana padahal luar biasa membuat orang mau berpikir.


Kalau di Indonesia kan yang gencar seperti ini hanya Cak Lontong. kamu dimarahi terus kan oleh Cak Lontong itu mikir. Jadi ayolah berpikir dalam hidup ini. Nah, itu maunya Sokrates begitu. Kita ini hidup ini terlalu banyak hal yang kita anggap rutin. Kita anggap kita sudah tahu padahal belum tahu. Kita anggap kita ini sudah paham padahal ndak yakin kalau diuji beneran kita bisa jawab. Jadi prinsip pertama ini yang dipakai oleh Sokrates ketika ingin melakukan dialog. Prinsip kedua kenapa dia melakukan

dialog kata Sokrates, education is the killing of a flame, not the feeling of a vessel. Pendidikan itu menyalakan api, bukan mengisi bejana. Jadi pendidikan yang baik itu yang membuat orang hidup menyala, aktif berpikir, aktif merenung, aktif menggali, mencari. Bukan seperti memenuhi gelas, memenuhi bejana, memenuhi pot dengan sesuatu. Gak begitu. Jadi otak kita, pikiran kita jangan diibaratkan seperti apa? Ember besar yang harus diisi ilmu sebanyak-banyaknya. Tidak begitu. Tapi bayangkan saja dia apa. Seperti lampu

yang harus dinyalakan. Ketika dia sudah menyala, dia bisa ke mana pun, mengkaji apapun, membaca apapun, melihat apapun secara jelas dan terang. Jadi fokuskan pada menghidupkan lampu ini loh, menghidupkan api ini. Bukan mengisi. Yo berarti ilmu-ilmu alat, ilmu-ilmu yang melatih berpikir, melatih merenung, melatih cara ee apa kritis dan lain sebagainya, kita kaji dulu, kita kuasai dulu, setelah itu baru nambah wawasan. Jadi lah kalau kita ndak mampu menganalisis, ndak mampu berpikir dalam, yo akhirnya logiknya seperti bejana tadi

diisi, diisi yo pada akhirnya penuh. Beda dengan lampu yang menyala dia bisa ke mana pun ndak harus dimasukkan di kepala dia paham. Karena sekarang terang lampunya menyala. Itu yang dilakukan oleh Sokrates. Membuat orang berpikir membuat lampu jiwa kita menyala. pendidikan itu seperti itu. Kalau murid-murid kita semangat ilmunya tinggi, semangat belajarnya tinggi, rasa ingin tahunya tinggi, otomatis bidang ilmu pengetahuan hidup dan produktif. Tapi kalau perilakunya seperti wadah yang diisi tadi yo

sebesar apapun wadahnya hasilnya dia hanya mengikuti, mengimitasi, hanya akan jadi follower, ndak mungkin jadi trend setter. Jadi kalau ada yang tanya, "Pak, kenapa sih kok kita itu sulit sekali membangkitkan dunia ilmiah kembali? Apakah itu dunia Timur ataukah dunia Islam misalnya dulu pernah jaya loh luar biasa. Sekarang kok surutnya banyak. Jangan-jangan cara kita menyikapi pendidikan ya seperti wadah yang diisi air bukan seperti lampu yang harus dinyalakan. Nah, sekarang mari ubah orientasinya.

Mari. Jadi ini kan hampir semuanya peserta ngaji para mahasiswa. Semoga jadi mahasiswa yang menyala. Jadi yo syukur-syukur ndak hanya menyala yo. Bolehlah sedikit-sedikit ada wadahnya, wawasannya tapi menyala. Jadi wawasan itu nanti diolah, dikelola versi kita. Bayangkan kalau ini menyala semua malam hari ini berapa yang datang ini? Betapa terangnya masjid kita secara rohaniah. Nah, kalau seluruh umat Islam, seluruh bangsa Indonesia menyala semua, awas. Kita akan sibuk mengejar ilmu, mengejar wawasan, menganalisis, berefleksi,

menemukan sesuatu dan ndak sibuk gegeran ramai komentar ini, komentar itu. Itu dianggap hiburan sementara saja. Tapi ada yang lebih esensial. Boleh kalau ada yang ingin meneliti ya, coba teliti dalam 1 minggu saja. Opo wis Twitter coba Twitter ya yang viral dalam 1 minggu itu coba di Indonesia ini tema apa saja kemudian kamu nilai ya ini urusan urgen penting atau sebenarnya urusan sepele gak penting. Ini isu-isu esensial untuk kehidupan kita sebagai manusia. sebagai hamba, sebagai bangsa ataukah isu-isu pinggiran

yang gak urgen? Jadi itu kan viral itu kan berarti diikuti, diramaikan oleh banyak orang. Nah, dari situ akan kelihatan karakter kita. Yo ndak heran kita jadi bangsa seperti ini. Wong yang menyibukkan kita tiap hari hal-hal seperti itu. Nah, boleh kalau ada yang mau neliti. Jadi, nulis skripsi apa tesis apa disertasi melihat ini mindset, gaya hidup, gaya pikir bangsa kita dari yang viral-viral. Kan sekarang lebih mudah parameternya. Oke. Baik. Jadi, ini ciri kedua, prinsip kedua. Prinsip ketiga. Wah, ini agak

kecampur tulisannya. Gak apa-apa ya, saya bacakan saja nanti di rekamannya biar diedit. Ini tentang temanya Sokrates bilang yang mau memfoto tulisannya nyampur. Ini ndak trik yo memang kebetulan begitu karena laptop saya lebih canggih dari yang di sini. Jadi begitu masuk sini jadi geser. Baik. Kata Sokrates ini orang banyak kemudian bilang ini kata Plato ya. Karena memang Sokrates itu bicaranya di buku-bukunya Plato, kitab-kitab dialognya Plato. Plato itu nak pernah cerita mengajar tentang dirinya, tapi

dia menyampaikan pelajaran gurunya. Kata Sokrates, "Strong mind discuss. Average mind discuss, weak mind discuss people. Orang yang kuat pikirannya biasanya lebih suka, lebih sibuk mendiskusikan ide-ide, gagasan-gagasan. Orang yang pikirannya rata-rata yo sederhanalah, ndak terlalu tinggi, ndak terlalu rendah itu biasanya senang membahas mendiskusikan peristiwa-peristiwa kejadian ini, kejadian itu, polisi bunuh polisi, sepak bola kalah dan lain sebagainya. Average mind. Ada lagi weak mind, pikiran yang lemah.

Disgust people, ngomongin orang, gosip, gibah. Ada yang lebih ngeri lagi, fitnah. Yaah, itu ciri-ciri weak mind. Jadi menyerang orang, merendahkan orang, ngomong jeleknya orang. Ini level pikiran yang rendah. Kalau level pikiran rata-rata itu ngomong peristiwanya. Kalau pikiran yang kuat itu yang dibahas ide-ide, gagasan-gagasan, kreativitas dalam ilmu. Nah, ini lanjutannya penelitian tadi ya. Kamu kira-kira bangsa kita itu level mainnya ada di mana? termasuk weak mind, average mind atau strong mind.

Pikiran yang kuat atau rata-rata saja atau kalian sendiri coba kamu baca WA-mu seharian ini. Ada gak yang bahas ide atau gagasan? Wah, kita mendiskusikan filsafat ini ono enggak sing ngono atau peristiwa ada kecelakaan di ha itu peristiwa yang dibahas. Ada demo di sana ada itu peristiwa atau bahas orang. Jadi orangnya yang dibahas. Seandainya bukan orang lain yo dirimu sendiri. Aku sedang ngaji nih. Aku sedang itu orangnya yang dibahas. Nah, kalau di dialognya Sokrates temanya tema dalam, tema tinggi, maka tema ide.

Nanti di Sokrates itu kalau teman-teman baca, ya saya sayangnya gak bisa mengambil banyak contoh. Nanti kita lihat satu apa dua saja yang dibahas ide keadilan itu apa, cinta yang sejati itu apa dan seterusnya. itu ide namanya, tidak orangnya bahkan juga bukan peristiwanya tapi idenya. Kalau bahasa filsafat Islam itu apa? Hikmahnya dari peristiwa ini orang ini kita bisa mengambil hikmah apa yang dari situ kira-kira bisa gak lahir ide baru, gagasan baru, pengetahuan baru, apakah itu tentang kemanusiaan atau tentang

kehambaan. Nah, ini orang strong mind namanya. Wah, dari peristiwa ini kita bisa mengambil pelajaran yang pertama [Musik] manusia itu memang gak ada yang sempurna. Misalnya yang kedua kita ngambil pelajaran bahwa kadang-kadang yang dikatakan orang menyakitkan tapi justru dari situ manfaatnya besar. Ini namanya ideas. Bukan orangnya bahkan bukan peristiwanya. [Musik] Tapi hikmahnya ini menarik nanti disambungkan dengan ee pandangan religius bahwa apapun yang terjadi di sekeliling kita itu mari kita ubah

wujudnya dari peristiwa dari orang menjadi ide atau gagasan atau hikmah. Semuanya adalah ayat-ayat Allah. Jadi kalau kita melihat apapun kita kasih perspektif hikmah. Oh, dari orang ini saya mengambil pelajaran ini. Dari peristiwa ini ada ide ini yang bisa saya ambil. Dari situasi ini ada konsep ini yang bisa kita rumuskan. Berarti kita termasuk strong mind. Tidak sekedar ribut gosip menggibah. Berarti kita ada di level 3 week main. Itu pun kalau diingatkan marah-marah. Mbok ndak usah ngomong orangnya. Loh,

ini fakta loh, Pak. Ini kenyataannya begitu loh, Pak. Io iya fakta. Ning yo yang produktif dong. Tidak sekedar ramai gegerannya, tapi dari situ ada hikmah apa yang bisa kamu ambil. Ketika kamu ketemu hikmah kan, langkah selanjutnya apa kontribusi positifnya untuk hidupmu. Ketika kamu mengambil pelajaran itu kan berarti apa yang harus kamu lakukan dari pelajaran itu kan begitu. Dan itu yang dilakukan oleh Sokrates. Dia menguji pandangan-pandangan teman-temannya sampai kemudian ketemu ide yang lebih

fresh, lebih baru dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Oke, kita lanjutkan yang keempat ini prinsip selanjutnya. Ini semuanya kalimatnya Sokrates. Nature has given us two ears, two eyes, and one tong. Through the end that we should hear and see more than we speak, itu tulisannya kurang A. Alam memberi kita dua telinga, dua mata, dan satu mulut. Tujuannya agar kita mendengar dan melihat lebih banyak daripada bicara. Ini mungkin sering disampaikan teman-teman ya, sering ketemu di mana-mana quotes ini. Kita itu punya dua

telinga, dua mata, dan hanya satu mulut. Tujuannya apa? Lebih banyak melihat, lebih banyak mendengar, dan mengurangi bicara. Nah, ini yo menafsirkannya jangan kaku ya. Bicara ini termasuk chatting, posting itu hitungannya bicara ya. Jangan. Saya pendiam kok, Pak. Sekarang saya sehari-hari ndak pernah ngomong tapi di medsos kurang ajar omongannya banyak. Sama aja itu namanya ya. Jadi nak lidah tapi juga jempol. Berarti apa? Dalam diskusinya Sokrates itu memang orang diminta banyak memperhatikan.

Tidak kesusu harus bicara. Jadi nanti ada normanya dalam diskusi Sokrates itu gantian kalau ngomong. Jangan rebutan. Nah, kadang-kadang kan kita ini karena merasa sudah benar duluan panas kita kalau ada orang beda pengin ke susu motong omongannya pengin ke susu jegal dia. Biar dia ndak kelihatan benar biar aku saja yang kelihatan benar. Ah, ini ndak sehat situasi dialog seperti itu. Nah, nanti kalau kalian sopo ngerti ada yang jadi moderator atau yang jadi ee apa? hostnya debat kan nanti tahun depan mungkin banyak

acara-acara debat itu. Coba nanti ingatkan audiensnya ya, bahwa kita ini punya dua mata dan dua telinga serta satu mulut. Tujuannya lebih banyak melihat dan mendengar, memperhatikan daripada ngomong. Jadi yang ngomong gantian satu-satu jangan rebutan. Yang lain perhatikan benar. Karena biasanya orang itu penginnya tampil terus, pengin ngomong terus, pengin kebenarannya didengar terus, tapi dia ndak tahan mendengarkan kebenarannya orang. Kan banyak itu momen-momen diskusi yang ketika lawan diskusinya ngomong dia

ingin motong terus. Dia ndak kuat mendengarkan orang lain beda pendapat dengan dia. Jadi jangan-jangan dia khawatir kalau dia ngomongnya tuntas aku kalah kebenaranku terus gagal. Nah itu yang dibenci oleh Sokrates. Yo kebenaran itu yo nanti kalau memang ada yang paling benar ya itu yang disepakati bersama. bukan kok ada di kubu sana atau di kubu sini. Ini prinsip yang keempat. Prinsip yang kelima, the highest form of human excellent is to question oneself and others. Bentuk paling tinggi kesempurnaan manusia

adalah kesediaan mempertanyakan diri dan orang lain. Nah, ini tadi ini berhubungan dengan quote minggu pertama dulu. An unexamined life is not worth living. Hidup yang ndak diuji itu ndak ada nilainya. Justru manusia itu ada di puncak kemanusiaannya ketika dia berani mempertanyakan dirinya atau bertanya pada orang lain, mempertanyakan orang lain. Apakah ini benar? Apakah ini pas? Apakah ini cocok? Ini lanjutan dari keterbukaan tadi. Kesadaran bahwa aku ini yo manusia yang bisa salah bisa keliru. Maka puncak kemanusiaan

kalau versinya Sokrates ya orang yang siap mempertanyakan dirinya dan itu ndak gampang. Manusia itu kuat di egonya. Sehingga kesadaran bahwa aku salah itu kan rasanya kok berat diakui. Banyak orang itu yang wong terbukti jelas nyata dia salah tapi sulit untuk mengakui bahwa saya salah. Ini makanya kata Sokrates justru puncaknya human excellent itu to question oneself and others. Berani bertanya dan mempertanyakan. Nah, jadi kalau ada temanmu mempertanyakanmu atau engkau mempertanyakan dirimu benar atau salah

itu sebenarnya kamu sedang jadi manusia yang asli manusia yang bukan Tuhan yang benar terus yang bukan Dewa yang benar terus. Jadi, oh aku ini yo masih bisa keliru, masih bisa salah. Question oneself and others. Oke, y ini untuk refleksi kita ya masing-masing. Jangan dikaitkan dengan apapun. Senengannya nembak keluar ke mana-mana. Orang itu loh, Pak, ndak mau ngaku salah, merasa paling benar. Ndak wong kamu sendiri juga begitu tiap hari. Dan kita memang ada kecenderungan egois mendahulukan diri kita.

Kalau ndak percaya kamu kalau ada lihat foto bareng-bareng itu kan kamu nonton dirimu sendiri kan dulu. Iya kan? Terus kamu bilang, "Ah, ini fotonya jelek." Itu kan sebenarnya kamu ndak suka posemmu, ndak suka gambarmu. Mungkin yang lain padahal bagus tapi kamu anggap jelek karena kamu lihat dirimu. Tapi kalau pas kamu posenya bagus padahal yang lain jelek kamu ah ini yang paling bagus ini mesti nah itu contoh paling gampang. Betapa orang itu memang egois. Padahal itu kadang-kadang gak hanya sama

teman, wong sama keluarganya, sama bapak ibunya sendiri juga begitu kan. Kamu milih dirimu sendiri dulu, gambarku kok jelek ya. Ng diulang lagi kok tetap jelek ya. Diulang lagi kok tetap jelek. Ya memang aslinya begitu. Mau minta yang gimana lagi? opo foto itu opo yo bisa menipu yoong dia cuma mengkopi aslinya kamu ndak terimo terus bayanganmu mungkin kamu se ganteng siapa, secantik siapa jadi lihat aslinya kamu ndak terima aku kok begini ya ah coba foto lagi bi kamu latihanlah filter yang bagus nanti kan jadi bagus

baik ini prinsip kelima pertanyakan dirimu dan juga terbuka untuk saling bertanya dengan yang lain Prinsip keenam, understanding a question is half an answer. Hidup ini isinya tanya jawab. Kalian jangan hanya fokus mencari jawaban, tapi belajarlah membuat pertanyaan yang baik. Kalau pertanyaannya sudah salah, ya jangan mimpi jawabannya bisa benar. ingin mencari apa yang ditanyakan kok itu misalnya ya ndak nyambung jawabannya mesti ndak ketemu gitu loh. Jadi understanding question bikin pertanyaan yang bagus yang bisa

dipahami dan memahami pertanyaan itu berarti sudah ketemu setengah dari jawabannya. Kalau pertanyaannya saja enggak paham, bagaimana kamu bisa ketemu jawabannya? Nah, makanya kalau teman-teman nanti ada yang jadi guru, jadi dosen, kalau bikin pertanyaan jangan membingungkan. Ndak mungkin ketemu jawabannya. Saya dosen filsafat, banyak teman-teman saya juga dosen filsafat. Kadang-kadang saya melihat ada pertanyaan yang ambigu. Misalnya pertanyaan, "Bagaimana pendapatmu tentang ini?" Itu pertanyaan

seperti itu jawabannya harus 100 nilainya. Kenapa? Kan pendapatnya mahasiswanya. Kalau dosennya, "Oh, itu gak cocok, Pak, dengan jawaban yang begini. Loh, itu kan jawabannya dosennya. Yang ditanyakan bagaimana pendapatnya mahasiswanya." Jadi sejelek apapun yao itu pendapatnya mahasiswanya. Kalau struktur pertanyaannya seperti itu. Nah, latihan bikin pertanyaan yang baik, understanding question. Dan teman-teman yang harus mencari jawaban juga pahami pertanyaan dengan baik. Nanti banyak momen-momen dialog dalam

Sokrates itu juga kuncinya ada pemahaman pertanyaan biar tidak ngalor ngidul yang tanya tentang apa, yang jawab tentang apa, nanti mulet. Jadi kan kayak banyak itu kan yang di komedi-komedi itu kan ada pertanyaan yang jawabannya mulat. Mau ke mana, Pak? Mau mancing. Oh, saya kira mau mancing. Gak kok saya mau mancing. Pertanyaannya mulet, jawabannya juga mulat. Dari mana? Dari belakang. Mau ke mana? Mau ke depan. Iya. Jadi kan banyak pertanyaan-pertanyaan iseng seperti itu. Oke. Kenapa kok jalan kaki saja ke

sininya? Ya emangnya saya harus merangkak? Ah itu kan antara yang ditanyakan apa dengan jawabannya kan gak nyambong. Itu maksudnya orang tanya kok ndak pakai kendaraan kok ke sini jalan kaki saja. Kamu jawabnya kan malah agak belok. Emangnya saya ke sini harus merangkak gak boleh jalan kaki? Nah ini understanding question is half an answer. Pahami dulu pertanyaan dengan baik baru kamu bisa ketemu jawabannya. Kalau tidak yo sulit. Jadi ini prinsip keenam dari dialog. Prinsip ketujuh, the beginning of wisdom is

a definition of terms. Nah, sebelum dialog, sebelum diskusi, jangan lupa dengan konsep-konsep definisi. Diskusi ndak akan produktif, dialog ndak akan produktif kalau definisinya ndak jelas. Definition of terms. Saya pernah ada webinar judulnya ada disrupsinya, ada kata-kata disrupsi, disrupsi digital dan lain sebagainya. Nah, itu ada yang memberi sambutan rupanya beliau ini ndak paham apa itu disrupsi. sehingga yo sambutannya itu luar biasa. Mari kita bersiap-siap di era disrupsi yang penuh dengan ng loh disrupsi ii

rasanya kok enak ya rasanya kok dahsyat ya. Ah itu kenapa mungkin beliau mis informasi missinisi dianggapnya definisi itu anugerah luar biasa dari kecanggihan sains dan teknologi digital. Nah, ayo ya kalau diskusi apapun pertama-tama pastikan kita tahu apa sih yang kita omongkan itu. Jangan seperti mahasiswa baru yang sering gaya pakai istilah-istilah keren tapi ndak paham dia ngomong apa. Saya sering itu dengar. Pokoknya hidup kita ini eksistensinya harus ditegaskan. secara esensial karena paradigma hidup

kita ini tidak boleh sering begitu itu kalau ditanya satu-satu itu dia mesti pontang-panting itu eksistensi itu apa paradigma itu apa esensi itu apa ya karena nanti kalau kamu ndak paham kamu ngomong apa ya gimana kamu orang lain bisa merespon gimana pemahaman bisa muncul dari situ. Definition of terms. Ada diskusi ramai sekali ndak ketemu putus-putus karena beda definisi. Yang saya ingat itu ada yang ee anu tentang khilafah. Yang satu mendefinisikan khilafah itu yo semacam sistem pemerintahan tertentu. Yang sini

mendefinisikan khilafah itu yo tanggung jawab manusia di muka bumi ini dalam bentuk apapun. Khalifatullah fil ard. Ini dua hal yang berbeda yo tentu saja diskusinya ndak ketemu. Wong definisinya beda. Maka the beginning of wisdom is a definition of terms. Jadi Sokrates itu kadang menjengkelkan kalau dialog itu dia menguji satu-satu. Loh, kamu ngomong ini sakral. Apa yang dimaksud sakral itu? Kamu ngomong bahwa hidup ini kita harus adil. adil itu kayak gimana? Jujur itu kayak gimana? Ini gayanya Sokrates.

Terus prinsip keedelapan. Gak cuma delapan saja prinsipnya. Tenang saja kamu nunggu teorinya ini sejak tadi prinsip terus Pak I karena kuncinya ada di prinsip sebenarnya. Yang kedelapan, it is better to change an opinion than to persist in a wrong one. Ini yang berat kata Sokrates, "Dalah lebih baik mengubah pandangan dibandingkan ngeyel, bertahan dalam pandangan yang salah. Manusia itu seringki karena egonya ndak mau disalahkan. Padahal sudah jelas salah. Kalau memang sadar itu salah, yo, ayo ganti ke yang

lebih benar dan itu lebih baik. secara psikologis juga lebih baik, secara sosial juga lebih baik, termasuk mungkin secara politik, secara budaya juga lebih baik. Wong sudah jelas salahnya yo jangan bertahan di yang salah. Ayo ganti ke yang lebih benar. It is better. Jadi lebih baik mengubah pandangan daripada bertahan dalam pandangan yang salah. Saya tahu sih, Pak, ini salah, tapi ini kan kelompok saya yo pandangannya seperti ini. Nah, ini tidak bagus. Tapi kan saya harus loyal, Pak. Komit dengan kelompok saya. Kalau kamu cinta

pada kelompokmu, yo, kalau dia memang sedang keliru, ingatkan biar benar. Kalau ada yang ndak pas, yo diluruskan bersama-sama. Nah, ini perilaku ilmiah namanya. lebih baik kita yo ganti ke yang lebih benar. Kalau memang sudah ada ditemukan yang lebih benar, dasarnya lebih kuat. Maka nanti di ujung-ujung dialognya Sokrates itu mesti kemudian orang, "Oh, iya berarti kesimpulannya begini kan Sokrates yang lebih benar." Oke, sip. Nah, dan mereka mau mengikuti itu karena mereka sadar yo aku bisa salah tadi

awalnya, prinsip dasarnya kan aku bisa salah tadi. Baik, itu prinsip. Sekarang kita mulai langkah-langkahnya. Ini ini baru mulai teknisnya. Boleh ambil nafas sebentar karena khawatirnya kamu teler dikasih delapan prinsip tadi. Kita mulai. Langkah pertama diskusi model Sokrates diawali dari tidak tahu. Kalau sudah tahu, sudah yakin tahu yo ndak usah dialog. Seperti saya bilang tadi, yo wis yakini saja kebenaranmu. Fastabiqul khairat. Kalau klaimnya sudah tahu. Jadi untuk dialog diawali kalau versinya Sokrates

awalnya, prinsip dasarnya kan aku bisa salah tadi. Baik, itu prinsip. Sekarang kita mulai langkah-langkahnya. Ini ini baru mulai teknisnya. Boleh ambil nafas sebentar karena khawatirnya kamu teler dikasih delapan prinsip tadi. Kita mulai. Langkah pertama diskusi model Sokrates diawali dari tidak tahu. Kalau sudah tahu, sudah yakin tahu yo ndak usah dialog. Seperti saya bilang tadi, yo wis yakini saja kebenaranmu. Fastabiqul khairat. Kalau klaimnya sudah tahu. Jadi untuk dialog diawali kalau versinya Sokrates

dari tidak tahu. Sokrates itu gayanya juga tidak tahu. Jadi dan dia ingin belajar. Kok kamu bilang bahwa dunia ini sekarang sudah tidak adil lagi. Coba ajari saya adil itu apa? Yang tidak adil itu bagaimana? Nah, ini dia ingin belajar bukan kok dia ngajar kamu salah adil itu begini gak dia ingin belajar. Nah, ini kadang-kadang rasanya menyakitkan bagi orang lain karena dia kayak dikejar-kejar. Jadi ini sikap pertama sekaligus kritik pada orang agar tidak sok tahu kalau memang dia tidak tahu. Dan yang

kedua agar kritis tidak menerima begitu saja kebenaran yang dia anggap benar. Di zamannya Sokrates ini dipakai untuk menyerang banyak kelompok. Menyerang dalam tanda petik mengkritisi banyak kelompok. kepada para kosmolog zaman itu sebelum Sokrates itu banyak kosmologi orang memahami kosmos kan teman-teman melihat ada apa sih hakikatnya kosmos itu alam itu ada yang bilang hakikatnya air ada yang bilang hakikatnya udara ada yang bilang hakikatnya empat unsur ada yang bilang hakikatnya cinta dan lain sebagainya

itufilosuf-filosuf sebelum Sokrates itu disindir oleh Sokrates kok yo memahami manusia, memahami alam yang kompleks ini hanya dibatasi di alam fisik saja. Nah, itu dikritik. Tapi cara ngritiknya dengan cara bertanya. Jadi tidak dengan cara menjatuhkan. Jadi kayak coba ajari saya. Nah, maksudmu apa? Nah, ini ini pertanyaan ini kan menggelisahkan bagi orang yang tidak dalam. Kalau kalian budayamu hanya like and share itu sulit. Kalau kamu ketemu Sokrates itu kamu bisa pontang-panting dikejar oleh Sokrates.

Jadi p para kosmolog juga kebingungan ketika ditanya oleh Sokrates pada zaman itu. Apalagi kelompok kedua itu kelompok sofis. Kelompok sofis ini orang-orang yang merasa sudah tahu, kadang-kadang sok tahu pada zaman itu. Jadi ini yang kalau di dialog-dialognya Sokrates banyak jadi mitra diskusi. Tapi yo toh begitu bagusnya mereka ini yo ketika digiring berpikir ketika menyimpulkan berbeda dengan kesimpulan sebelumnya yo biasanya mau. Karena yo betapun mereka ndak bisa bantah lagi pikiran-pikiran yang sudah

digiringkan oleh Sokrates tadi. Jadi ini untuk kelompok sofis termasuk yo pada para ilmuan, politisi, seniman dan lain sebagainya. Jadi ini sindiran bagi mereka kadang-kadang ilmuwan itu, seniman itu, politisi itu, pemahat itu zaman Sokrates kan di antara profesi yang ee dianggap tinggi pemahat, bikin patung-patung yang indah itu. Nah, itu bagi Sokrates gaya tidak tahu ini sindiran mereka yang merasa tinggi dan penting karena menguasai satu saja disiplin ilmu. [Musik] Jadi kosmolog, sofis, ilmuwan-ilmuwan

itu kan semuanya merasa sudah tahu. Dan Sokrates muncul, saya ndak tahu apa-apa. Woh, itu antitesis yang luar biasa pada zamannya. Ketika semua orang sok tahu, kita tampil sebagai orang yang saya kok ndak tahu apa-apa ya. Aku kok koper banget ya. Aku kok kudet banget ya. Aku kok itu gayanya Sokrates. Mbok tolong ajari aku. Mbok tolong beritahu aku yang kamu share tadi loh maksudnya apa. Wohho itu kalau kamu cuma copy paste nge-share-nya. itu kamu bisa jungkir balik kalau ditanya Sokrates. Tiba-tiba kamu nge-share, hati-hatilah

kiamat tidak lama lagi akan datang. Ciri-cirinya oh itu kamu bisa pertanyakan satu-satu, kamu uji satu-satu. Itu yang dimaksud kiamat itu apa namanya? Wah, itu bisa panjang urusannya. Sok jadi Sokrates nyindir orang-orang semacam ini. Semacam para kosmolog yang merasa tahu segalanya. Semacam kaum sofis yang bisa mempermainkan kebenaran, agak sombong merasa bisa. Termasuk para ilmuwan yang sebenarnya hanya menguasai satu bidang ilmu sih, tapi gayanya kayak menguasai semuanya. belajar filsafat terus wah filsafat itu

induknya semua ilmu. Jadi kalian yang fakultas lain, bidang lain di bawahku semua. Misalnya nanti yang kuliah pendidikan loh yo intinya ilmu itu yo pendidikan. Kalau gak ada pendidikan bagaimana ilmu bisa hidup? Semua ilmu itu yo pintu gerbang dan wadahnya pendidikan. Jadi dia paling penting nanti psikologi datang, oh yang paling penting itu yo manusianya dong, batinnya. Kalau batinnya rusak, orangnya stres, ilmu apapun gak ada gunanya. Misalnya terus semua ilmu merasa penting. Kedokteran juga merasa paling penting.

Nanti apalagi matematika juga nganggap dirinya paling penting, biologi nganggap dirinya paling penting, apalagi agama. Agama itu nomor satu. Semua ilmu harus tunduk di bawah ilmu agama misalnya. Nah, ini cara-cara berpikir yang dikritik oleh Sokrates. Wong kita itu ngertinya satu bidang kok merasa tahu semuanya dan merasa paling tinggi. Cara ngelitik Solcrates bukan dengan cara menyerang mereka semua, tapi dengan cara dia tampil sebagai orang yang saya nak tahu apa-apa. Coba beritahu saya, coba jawab

ketidaktahuan saya. Ini langkah pertamanya Sokrates. Langkah kedua, Sokrates mengajukan namanya ironi. Jadi, Sokrates itu pura-pura tidak tahu memancing lawan bicaranya. Biarkan dia merasa tahu. Kemudian kita gali, kita giring pikirannya. Biarkan dia nanti menyimpulkan sendiri. Jadi jangan pojokkan dia, beri pertanyaan-pertanyaan sampai dia tergiring menyimpulkan sendiri. Nah, yang kedua ini namanya ironi. Jadi, loh untuk bisa bertanya dan menggiring itu kan sebenarnya orang wawasannya harus tinggi. Kalau tidak tahu apa-apa

sama sekali ndak mungkin bisa bertanya secara pas. Tadi ketika dia bilang tidak tahu, dari pertanyaannya sebenarnya kelihatan ini orang ini wawasannya luas. itu yang disebut ironi. Jadi kadang-kadang loh yang tadi ngakunya paling pintar, ternyata begitu diberi pertanyaan ini itu akhirnya ndak bisa jawab. Malah Sokrates yang bisa mengarahkan ke jawaban yang benar. Oh, berarti sejak tadi yang lebih pintar itu yo Sokratesnya. Nah, ini namanya metode ironi. Ngakunya tidak tahu, padahal pintarnya luar biasa.

Nah, baik. Jadi yo nanti kalau gaya yang pertama mungkin teman-teman bisa, cuma yang kedua ini saya ndak jamin kalau teman-teman malas baca, malas belajar, ndak bisa menampilkan ironi. Kalau ndak punya wawasan apa-apa kayak tadi misalnya ada teman yang sekedar like and share, coba kamu bilang begitu maksudnya apa? Yo, karena kita gak punya wawasan apa-apa yo temanmu jawab apa saja nanti ya kamu percaya saja. Akhirnya kamu ndak bisa melakukan ironi, ndak bisa mempertanyakan. Yang terjadi hanya tanya jawab satu

arah. Untuk bisa seperti Sokrates ini yang bolak-balik. Kemudian justru dia yang mengarahkan diskusi itu yo kamu tidak blank sama sekali. kamu punya wawasan-wawasanmu sendiri tentang bidang itu. Oke, kita lanjutkan. Yang ketiga namanya konfutasi atau kalau bahasa Yunaninya elencus. Jadi Sokrates konfutasi itu Sokrates mengajak temannya mengungkap apa yang ada di pikiran, membuat dia mendefinisikan, membuat dia menguraikan apa yang ada di pikirannya. Kemudian Sokrates menyebut kekurangannya, kontradiksinya, ndak pasnya.

Oh, definisimu begitu tentang keadilan. definisimu yang seperti itu ndak cocok kalau dalam situasi ini. Jadi dengan bantahan-bantahannya Sokrates ini orangnya terus sadar berarti yang belum tahu itu aku. Nah, ini pintarnya Sokrates. Orang jadi terpojok sampai dia sadar, "Ah, ternyata aku yang belum tahu." Padahal selama ini aku merasa sudah tahu. Jadi setelah dihadapkan pada ironi sekarang orang itu sendiri sadar dari bantahan-bantahannya Sokrates. Biasanya Sokrates memberi contoh-contoh, memberi

ilustrasi-ilustrasi yang membuat orang ini sadar, "Ah, berarti gak begitu. Aku belum tahu." Berarti itu yang disebut konfutasi. Langkah ketiga barulah yang keempat mayotika kebidanan tadi bareng-bareng melahirkan kebenaran. Jadi setelah orangnya sadar dia tidak tahu, terus Sokrates mengarahkan pelan-pelan sehingga kemudian ditemukan definisi bersama, kebenaran bersama. Jadi ini seperti bidan tadi. Jadi manusia itu seperti orang hamil Sokrates yang membantu persalinannya sehingga bayinya bisa lahir. Bayi ini yo

pengetahuan itu kebenaran tadi. Jadi kenapa perlu bantuan? Sebenarnya orang ini tahu sudah tapi belum bisa merumuskannya, belum bisa meramunya. Itu seperti orang yang sedang hamil. Tapi sulit melahirkannya. Dalam banyak hal kan teman-teman sudah tahu sebenarnya, tapi kalau disuruh menjelaskan gak bisa. Jadi berarti apa tugasnya Sokrates itu mayotika tadi seperti seorang bidan nonton sampai kelahirannya lancar. Itulah sebenarnya tugas utamanya filosuf. tidak sekedar minteri orang, menceramahi orang, bikin orang stres dan ruwet, tapi

membantu orang menemukan kebenarannya. Dan ini menurut saya menarik karena kadang kebenaran itu di level tertentu sifatnya kontekstual. Jadi tidak kemudian tiba-tiba saya datang pada kalian terus menceramahkan kalian harus jadi orang yang sabar ya, jadi orang yang tawakal ya tanpa ngerti situasimu. Jadi kalau saya tahu situasi mungkin saya ndak akan menasehhatimu. Sabar. Maka biar saya tahu apa? Jangan kesusu memberi obat sebelum tahu penyakitnya. Berarti apa? Yo dialog tadi. Saling mengungkap, saling membuka diri, bahkan

bila perlu saling memberi masukan sehingga ketemu, "Oh, yang benar itu ini. Ternyata yang pas itu ini ternyata." Nah, ini langkah puncaknya itu namanya mayutika. kebidanan. Bagaimana orang bisa melahirkan kebenaran sendiri. Setelah itu dia pulang dengan puas karena aku sudah menemukan kebenaranku. Jadi bukan didikte oleh Sokrates, tapi dia nemu sendiri kebenarannya. Ini yang khas dari seorang Sokrates. Baik. Nah, secara umum kemudian bisa kita ringkas ada beberapa variabel dalam metodenya Sokrates ini.

Jadi kalau ada teman-teman yang ingin menggunakan metode ini mungkin setelah ini mau ngumpul-ngumpul bareng di kafe mana harus punya kualifikasi ini. Yang pertama apa? harus punya minimal tiga sikap selain wawasan. Ya, kalau wawasan itu pasti tanpa wawasan, tanpa pengetahuan sama sekali sulit menggunakan metodenya Sokrates ini. Sikap yang penting apa? Yang pertama rasa ingin tahu, yang kedua terbuka. Yang ketiga, menghargai apapun gagasan orang tidak menghakimi. Kalau Sokrates itu gayanya menghakimi, woh itu begitu

temannya ngomong keliru langsung mesti disalah-salahkan. Wah, kamu sesat. Kamu kok mendefinisikan kok seperti itu. Mesti langsung dibegitukan. Tapi Sokrates gak dihargai. Jadi diawali dengan oke. Kalau memang menurutmu keadilan itu begitu, bagaimana kalau dalam kasus yang seperti ini ya? Ah terus dia mikir lagi ya kalau dalam kasus yang seperti itu ya mungkin begini lah. Tapi kan kontradiksi dengan definisimu tadi. Katanya tadi keadilan itu begitu. Nah, ini gayanya Sokrates. Jadi, dia tidak menghakimi sampai dia terus iya ya

kontradiksi. Ah, berarti harus disempurnakan definisinya kemudian. Nah, itu terus sampai ketemu sendiri. itu gaya dia. Jadi menghargai pikirannya orang yo tentu saja yang paling dasar rasa ingin tahu. Jadi ini memang kunci ilmu, kunci filsafat itu rasa ingin tahu. Kalau rasa ingin tahunya mati yo ndak jadi berkembang ilmunya. Kalau mental kita mental alah, Pak sudah gak usah tanya-tanya semuanya baik-baik saja tanpa ditanya macam-macam. Yo wis. Selesai urusannya. Tapi kan gak ada peningkatan kualitas.

Wong kita itu manusia pasti ndak sempurna. Yang bisa kita lakukan menyempurna. Tambah baik. Tambah baik sampai titik final. Yo gak mungkin. Tapi kan justru kemuliaan kita ketika kita jadi baik, lebih baik dan lebih baik. Itu antara lain kalau kita siap mengevaluasi diri. Berarti apa? Rasa ingin tahunya harus hidup. Mana yang lebih benar, mana yang salah dari yang aku selama ini. Nah, kalau Sokrates levelnya tidak hanya untuk dirinya, tapi juga menemani yang lain, mempertanyakan diri dan menemukan

kebenaran. Yang kedua, tentu saja terbuka. Jadi, pikiran yang terbuka. Ndak milih-milih referensi, ndak milih-milih sumber apapun yang datang diterima meskipun ndak ditelan begitu saja yo dikritisi. Kamu pakai sumber ini apa cocok? Kamu pakai referensi itu apa? Ya, cocok kamu pakai ee apa buku itu yang kamu pakai. Wong itu buku masak memasak kok dipakai untuk menyelesaikan problem politik misalnya. Nah, itu itu namanya terbuka tapi kritis. Banyak orang yang menutup diri sejak awal. Biasanya ya sederhana orang tertutup itu

di antara cirinya logikanya pokoknya. Ah, logika pokoknya itu sudah gak usah dibantah. Kamu minggir kalau ada orang pakai logika pokoknya. Pokoknya ini yang benar ya. Wis, wis ngalah-ngalah. Kalau sudah pokoknya itu sudah ndak bisa dialog, sudah berarti dia sudah tertutup. Selesai ceritanya kalau di situ loh kalau sahabat-sahabatnya Sokrates itu terus pakai logika pokoknya ya selesai. Tapi Sokrates ini pintar kalau membuka pikirannya orang agar terbuka. Ceritanya Sokrates ini lucu. Jadi kalau sedang

ngobrol itu isinya mesti penuh tertawa. Ndak kok tegang kayak orang dihakimi gitu. Ndak ngobrol santai-santai, ketawa-ketawa sambil bongkar pikirannya sendiri-sendiri. Kalau teman-teman tertarik bisa bacakan beberapa ada dialog-dialognya Sokrates eh dialognya Plato tentang Sokrates yang diterjemah itu. Yo meskipun terjemahannya ndak terasa lucunya sih wong yo kaku bahasanya tapi anggap saja itu luculah. Ya memang maksudnya lucu cuma kan yo bisa diterjemah dari Indonesia ke Inggris sudah luar eh dari

Inggris ke Indonesia sudah luar biasa. [Musik] Baik. Jadi tiga sikap ini harus hidup. yang tidak ingin tahu, yang tertutup dan tidak kuat menghadapi perbedaan ndak bisa menggunakan metode Sokrates ini. Ya, mungkin silakan cari metode yang lain. Terus ada beberapa kunci yang penting saat kita menjalankan metode Sokrates ini. Yang pertama apa? Tentu saja pertanyaan akan jadi kuncinya. Begitu pertanyaannya meleset, jelek, gak fokus, selesai. Kualitas dialognya juga akan turun. Betapa pentingnya nanti posisinya

Sokrates ini. Dia yang jadi tukang tanya. Dan gak gampang, jangan dikira lebih sulit jawab daripada bertanya. Justru kuncinya ada pada pertanyaannya. Begitu pertanyaannya keliru, ya sudah selesai. Nak mungkin ada jawaban yang relevan. Yang kedua, dalam dialog-dialognya Sokrates itu ada lagi yang jadi kunci. Apa? Contoh-contoh faktual, baik yang cocok atau tidak cocok. Jadi, Sokrates itu kalau diskusi ada orang ngomong apa terus dia ngasih contoh fakta yang berbeda. Orangnya terus mikir lagi, "Iya ya,

kok bisa beda ya?" Cinta itu adalah ketika perasaan kita meluap-luap ingin memiliki saja apa yang kita cintai misalnya. Terus Sokrates mata, "Gimana kalau ada seorang ibu atau orang tua yang anaknya disekolahkan jauh sekali di asrama atau di pondok yang jauh? Apa itu buktinya cinta?" Tadi katanya cinta itu ingin bersama, ingin memiliki terus ini kok malah dijauhkan. Kalau yang seperti itu gimana? Oh, itu mikir lagi kan terusan. Wah, berarti keliru ini definisinya. Berarti cinta itu bisa jauh, bisa dekat,

yang penting teringat terus. Ah, yo mungkin nanti bisa ditampilkan fakta lagi. Gimana kalau ada suami nyari uang pusing, gak ada ndak dapat apa-apa. Akhirnya lupa sama istrinya yang dipikir cari uang. Terus itu disebut cintanya hilang apa dak? Woh, itu gayane Sokrates. Pokoke kamu jengkel mestine ketemu Sokrates ini. Tapi ikutilah nanti lama-lama kamu bisa ketemu, bisa mendefinisikan, oh ini yang benar itu memang seperti ini. Jadi dia pintar memberi fakta atau konter fakta. Kalau begini gimana? Kalau begitu

gimana? Katamu cinta damai, tapi kok yo senang sekali kamu kalau ada ramai-ramai, kalau ada gegeran loh. Tapi kan bukan berarti senang dengan ramai-ramai itu membuktikan kita tidak cinta damai lah. Tapi terus apa ukurannya orang cinta damai itu? Opo kalau ngomong lembut? Kan ada orang ngomong yang lembut tapi nyelekit. Yo, yang lembut tapi ndak nyelekit, Pak. Yo lembut ndak nyelekit sih, tapi yo begitu dipikir-pikir sebenarnya itu merendahkan kita itu terus kita marah ya terus gimana? Oh itu gayanya Sokrates.

Jadi mengejar kita terus sampai kita sampai pada kebenaran. Dan jangan lupa ini yang agak sulit yang ketiga ini kemampuan merangkum dan menyimpulkan. Ketika kamu menjelaskan pada Sokrates bla bla bla bla terus dia bilang, "Oh, berarti maksudmu ini ya." Itu berarti dia menegaskan yang kamu omongkan panjang lebar tadi sebenarnya kan intinya ini toh. Nah, ini pintar kalau Sokrates merangkum dan menyimpulkan. Kadang-kadang kan kita ndak terlalu canggih di situ. Orang ngomong panjang lebar, "Oh, berarti yang diomongkan itu

intinya ini loh. Nanti intinya lebih panjang dari omongan tadi. Jadi disuruh menyimpulkan malah ceramah sendiri." Nah, itu kan ada yang seperti itu. Nah, kalau Sokrates pintar ya dari uraian panjang terus ketemu, oh intinya ini. Nah, itu kalian latihanlah. Gayanya Sokrates ini menarik untuk kita menemukan kebenaran. Baik, kita lihat ya salah satu contoh fragmen ketika Sokrates ngobrol dengan temannya misalnya ini misal misalnya suatu ketika Sokrates tanya, "Apakah bohong itu sesuatu yang pasti

buruk?" Tentu saja Tuhan pun memperingatkan kita bahwa bohong itu buruk. Apakah semua bohong itu buruk? Ya, jawaban temannya, "Ya, tentu saja baik." Ah, ini yang fakta tadi. Bayangkan seandainya ada seorang ayah di hadapan anaknya yang sakit, yang anak ini menolak minum obat, akhirnya ayah tersebut menaruh obat di tempat anaknya biasanya minum. Terus waktu anaknya tanya, "Pak, ini isinya apa?" Pak, kok warnanya beda? Terus bapaknya bilang, ayahnya tadi bilang, "Oh, ya ini minuman seperti yang

kamu minum biasanya ndak kecampur apa-apa ya. Mungkin warnanya saja agak beda." Ini kan bohong. Nah, pertanyaannya Sokrates, kalau semua bohong itu pasti buruk, apa yang dilakukan ayah ini pasti buruk? Itu kan dia sedang bohong. Wah, nanti kalau tujuannya yo itu ndak bohong. Itu kan tujuannya baik. Berarti teorinya sekarang ganti bohong itu buruk kecuali tujuannya baik. Kalau temannya jawab, "Iya, kamu cari contoh." Ada orang bohong yang tujuannya baik padahal itu bohong. Suami pulang ke rumah terus, "Kamu

selingkuh ya?" Padahal selingkuh. Terus dia bilang, "Nak." Kata siapa saya selingkuh? Tujuannya apa kok dia bohong? biar keluarganya terjaga. [Tepuk tangan] Jadi biar gak ada rame ramai, ndak ada kasus menghancurkan keluarga, nanti nama baik keluarga besar juga jatuh. Saya tak bohong sajalah. Apa memang begitu? Bahwa bohong itu buruk kecuali tujuannya baik ataukah tujuan yang baik ini perlu diklasifikasi lagi atau seperti apa? Nah, di sini kamu mulai puyeng sekarang kan mendefinisikan apa itu bohong.

Jadi ini gayanya Sokrates. Oke, nanti bisa kamu praktikkan kalau ingin membuat stres orang itu kamu. Tapi ini perlu kecanggihanmu punya banyak fakta data yang luas. Makanya saya bilang tadi ya, kamu harus wawasanmu luas untuk bisa melakukan ini. Tapi dengan cara ini, pelan-pelan kamu ketemu definisi yang utuhnya, kebenarannya yang sifatnya universal. Itu yang dicari oleh Sokrates. Kalau ini konkret saya potong dari dialognya dengan Eutifro. Ini saya potong tentang kesucian. Ini kan menarik. kita itu kan tiap hari

Jadi ini gayanya Sokrates. Oke, nanti bisa kamu praktikkan kalau ingin membuat stres orang itu kamu. Tapi ini perlu kecanggihanmu punya banyak fakta data yang luas. Makanya saya bilang tadi ya, kamu harus wawasanmu luas untuk bisa melakukan ini. Tapi dengan cara ini, pelan-pelan kamu ketemu definisi yang utuhnya, kebenarannya yang sifatnya universal. Itu yang dicari oleh Sokrates. Kalau ini konkret saya potong dari dialognya dengan Eutifro. Ini saya potong tentang kesucian. Ini kan menarik. kita itu kan tiap hari

juga sering ngomong kata-kata suci. Suci itu apa sih? Gitu. Kalau kamu tak tanya itu mesti yo bingung. Misalnya Al-Qur'an itu sering kita sebut kitab suci. Yang suci dari Al-Qur'an itu apanya? itu kamu harus bahas sama gak kata-kata kitab suci dengan di depannya kamar mandi sana ada tulisan batas suci nanti ada mahasiswi bilang aku masih suci ayo definisimu tentang suci itu apa sama gak dengan sakral misalnya atau itu hanya beda kata saja atau apa ya? Makanya dia tanya begini ini setelah

tanya definisi dia bilang kan Sokrates minta contohnya suci apa kata Sokrates sekarang begini saya ndak memintamu untuk memberi contoh kesucian itu apa. Tetapi coba identifikasi sesuatu itu disebut suci kay kalau bagaimana karena ada yang kamu sucikan, ada yang tidak kamu anggap suci. Yang kamu anggap suci itu cirinya apa? Yang gak suci itu cirinya apa? Selain tadi macam-macam jenis suci tadi, pasti ada karakteristis yang dimiliki oleh semua benda suci sehingga dia disebut suci dan karakteristik yang

membuat benda itu ndak suci atau najis. Nah, coba beritahu saya cirinya apa sampai di sini kita bisa lama diskusinya. Terus sahabatnya jawab, "Yo, intinya beginilah. Sesuatu itu suci ketika dicintai, diinginkan oleh dewa-dewa. Dan sesuatu yang dibenci oleh dewa-dewa itu najis." Kata Utipro, "Saya kira begitu. Wah, bagus sekali pendapatmu, Etipro. Ini muji sebenarnya itu bagian menggari." Padahal itu sebenarnya mau menjatuhkan. Jadi dipuji dulu, ditinggikan dulu. Wah, sekarang kau memberikan jawaban yang aku

inginkan. Ayo sekarang kita uji ya. Benda yang dicintai oleh dewa-dewa adalah suci dan benda yang dibenci oleh dewa-dewa adalah najis. Dan suci itu kebalikannya najis. Kebalikannya gak suci. Begitu kan maksudmu? Iya. Nah, padahal sebelumnya ini di pendapat sebelumnya EPro bilang ada beberapa hal yang dibenci oleh dewa ini tapi disukai oleh dewa itu. Jadi mungkin kalau dewa laut itu sukanya ini, tapi ini yang disukai oleh dewa laut itu dibenci oleh dewa petir. Nah, itu penjelasan uti pro sebelumnya.

Nah, di sini terus kelihatan jadi inkonsisten lah. Bagaimana kalau ini suci menurut dewa A tapi ndak suci menurut Dewa B? Benar suci gak? Suci itu ada di barangnya atau di pikiranmu? Ah, itu gayanya Sokrates. Sudah kamu kalau ingin cepat pintar, coba pakai gaya ini diskusinya. Jadi diskusi yang berpikir ada bahan oke tapi bahan itu referensi bukan untuk dikutip saja. Karena kadang mahasiswa itu kalau diskusi merasa sudah tuntas kalau sudah ngutip pikirannya orang-orang besar. Sejauh yang saya tahu Sokrates itu

bilang begini itu terus kamu temanmu nak berani bantah. Sudah sudah ada kutipannya Sokrates ya. Saya gak berani. Itu strategi yang pernah dulu saya pakai zaman saya mahasiswa itu ada lomba debat P4 yang antar mahasiswa baru. Wah, waktu debat itu yang lain pakai argumen canggih-canggih. Saya ngutip tapi ngawur. Ini saya baca menurut pendapatnya Gus Dur di tulisannya. Padahal Gus Dur gak nulis itu sih. Tapi teman-teman yang lain mendengar referensi dari Gus Dur, dari Nur Kholis Mjid ngeri sudah, wah ini mesti kelas

tinggi ini. Saya nyerah ini mesti. Jadi kamu lebih terpesona oleh rujukan-rujukan, kutipan-kutipan, bukan kemampuan analisisnya. Nah, ayo latihan. Jadi kayak Sokrates ini latihan mengelola data, mengelola ide untuk membantu kita sampai pada kebenaran. Ini gayanya Sokrates. Baik. Nah, mungkin masih ada dua slide lagi. Enam pertanyaan gaya Sokrates. Ini nanti konsep pertanyaannya Sokrates ya. Yang pertama apa? Menyelidiki implikasi dan konsekuensi dari yang disampaikan orang. Misalnya bertanya, "Apakah ini masuk

akal?" Yang kamu sampaikan ini rasional gak sih? Masuk akal gak sih? Argumennya apa? Alasannya apa? Kalau masuk akal itu namanya membahas implikasi. Yang kedua, apakah data yang kamu sampaikan itu cocok gak dengan tema kita? Karena kadang-kadang ada yang memberi argumen, memberi data yang gak nyambung, gak relevan. Maka ditanyakan juga kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataannya. Yang kamu omongkan ini faktanya mana? faktualnya mana? Dan ditanyakan juga yang terakhir, konsekuensi dari pernyataan itu. Kamu

berani ngomong seperti itu sudah mempertimbangkan gak konsekuensinya apa? Yo konsekuensi itu yo ndak harus konsekuensi faktual, konsekuensi logisnya juga. Karena kamu menyimpulkan bahwa ini adalah itu, berarti yang berhubungan dengan itu, itu berarti juga salah. Nah, ini namanya konsekuensinya. Jadi, karena berani diputuskan misalnya bahwa rokok itu sesuatu yang merusak, bisa nak disimpulkan konsekuensinya. Semua yang berhubungan dengan rokok adalah hal yang negatif. Nah, itu kan namanya konsekuensi.

Jadi, tidak sekedar sesuatu itu, tapi relasi jauhnya juga harus dihitung. konsekuensinya karena kamu bilang bahwa kuliah yes pacaran no misalnya, coba kamu hitung konsekuensinya. Berarti kalau ada cowok nganteng atau mahasiswi cakep seperti apapun nembak ke kamu, kamu mesti nolak. Ya konsekuensinya kan itu karena pacaran itu no. Kamu mesti ndak ingin kuliah sambil pacaran. Berarti kalau ada urusan apapun kalau itu berhubungan dengan kuliah yo kuliahmu kamu nomor satukan yang lain minggir dulu apa begitu. Itu namanya

konsekuensi. Misalnya kalau kamu tadi bilang kuliah itu nomor satu. Kalau orang tua gimana? Orang tuamu meminta sudah le gak usah kuliah saja pulang saja duitnya bapak habis misalnya. kan ini namanya konsekuensi dari pernyataan apa iya begitu. Yang kedua, gayanya Sokrates juga kadang-kadang mempertanyakan pertanyaan. Kalau ada orang tanya terus dia tanya, "Ini kayak saya lupa berapa waktu yang lalu ada kasus, kenapa kok kamu tanya itu?" Jadi menurutmu mengapa kok menanyakan ini? Apa maksud pertanyaan itu?

Karena kadang-kadang ada pertanyaan itu yang ingin tahu, ada pertanyaan mempertanyakan, ada pertanyaan retoris, ada pertanyaan ini harus tegas dulu. Kamu ini memang bertanya ingin tahu atau nguji aku atau retoris sebenarnya jawabannya sudah jelas atau apa. Ini namanya mempertanyakan pertanyaan. Jadi kan kadang-kadang di dialogunya Sokrates ketika dia tanya ke temannya, temannya balik tanya, "Lah kalau menurutmu gimana kok kalau ini salah terus?" Nah, dia tanya, "Loh, wong aku tadi tanya ke kamu, kamu kok

balik tanya ke aku. Maksudnya pertanyaanmu itu apa? Kamu nyerah gak bisa jawab lagi atau apa?" Ini namanya mempertanyakan pertanyaan. Terus mengklarifikasi konsep. Ini tadi sudah dijelaskan ya, term-term konsep definisi itu harus tegas dulu apa maksudnya, apa definisinya, apa hubungannya dengan yang kita bicarakan. Kemudian pertanyaan-pertanyaan asumsi orang berpikir itu kan biasanya ada asumsinya. Kalau gak ada asumsinya kita gak bisa berpikir jauh. Asumsi itu hal-hal yang jangan dibantah. Kalau dibantah nanti

lain sebagainya. Terus ada lagi pertanyaan tentang sudut pandang. Kalau pandangannya begitu, pendapatmu begitu, kira-kira dengan pendapat itu yang diuntungkan siapa? Yang rugi siapa? Mengapa menurutmu pendapat ini lebih baik daripada pendapat itu? Apa sih bedanya pendapat ini dari pendapat itu? Ah, ini namanya mempertanyakan sudut pandang. Kalau sudut pandangmu seperti itu, itu kira-kira yang diuntungkan kubu mana? Kamu sengaja atau gak sih menguntungkan kubu tadi itu? Atau sebenarnya yo implikasi saja dukungan keuntungan itu

dan lain sebagainya. Ini pertanyaan ala Sokrates. Jadi silakan kamu latihan. Tadi kan kuncinya ada di pertanyaan-pertanyaan. Ini rumus-rumus pertanyaan dari Sokrates. Ada enam gaya. Kalau ada yang ingin detail tentang cara bertanya yang benar, boleh diulang rekaman ngaji filsafat. Kita pernah membahas satu sesi penuh tentang cara bertanya. Itu teorinya panjang. Nah, tadi saya bilang silakan kalian bikin Socratic Circle sebanyak mungkin kalian mampu untuk apa? kemampuan melatih kecerdasan, kemampuan meningkatkan daya analisis.

Yo meskipun nanti nama circelmu ndak harus socraktick circle, nanti jadi socraktick circle semua. Tapi bikin kelompok-kelompok kajian, diskusi sesama kalian saja. Syaratnya apa dalam Socratic Circle itu? Latihanlah jadi pendengar yang baik. Kunci utamanya ini tadi. Kalau ndak ada yang siap jadi pendengar yang baik, ndak siap berbeda, yo mending ndak usah bikin socratic circle. Kemudian ciri kedua socratic circle itu bicaralah yang jelas, latihan ngomong yang mudah dipahami dan jangan rebutan ngomong. Satu orang satu

waktu. Socratic Circle ini bikin selonggar mungkin. Jangan terlalu kaku. Satu orang 1 menit ya. Kamu sudah ngomong 1 menit sudah hope ganti. Dak nak bikin bebas saja santai saja giliran. Ah ini untuk yang waktunya longgar ya. Jadi jangan dibatasi. Luahkan semua yang ada di pikiranmu. Kalau sudah kamu selesai ada yang nanggapi yang lain gak? Ada. Ah itu caranya begitu. giliran. Ciri ketiga, sifatnya terbuka. Jadi, yo ndak harus terlalu diatur. Kalau di dialognya Sokrates itu bisa saling menyaut. Tapi gantian, tidak

rebutan. Yo, karena mungkin memang ditulis oleh plato tertib kayak naskah drama. Jadi rasanya memang saling memberi waktu untuk bicara tapi terbuka, gak ada batas-batas dan dihargai. Jadi kalau teman-teman membaca dialognya Sokrates itu pendapat apapun, pendapat siapapun dihargai. Gak ada yang tiba-tiba dihakimi. Wah bodoh kamu, wah sesat kamu. Wah ngawur kamu. Gak ada yang begitu. Jadi selalu dihargai ya kayak tadi. Wah bagus ini jawaban yang saya tunggu. Ayo kita uji sekarang jawabanmu. Ahah. Ini

menghargai namanya. Jadi tidak menghakimi. Kemudian Socratic Circle itu bicara apapun pastikan punya argumen. Silakan mempertahankan pendapatmu, tapi yang berargumen. Yang membantah juga begitu dengan argumen. Biar tidak asal-asalan. Jadi paling tidak dasar argumennya adalah kemasuk akalan. Iya ya. Yang kamu omongkan itu masuk akal itu minimal itu. Meskipun tidak ada rujukan ke kitab-kitab besar atau tokoh-tokoh besar paling ndak reasoningmu masuk akal. Yo kayak Sokrates tadi loh. Katanya orang jujur

itu mutlak ndak boleh bohong. Tapi dalam kasusnya bapak tadi opo yo bohong itu jelek. Tapi dalam kasus suami tadi opo yo bohong itu tetap bersyarat dan lain sebagainya. Nah, ini caranya. Nah, yang terakhir Socratic Circle itu rumusnya apa? Hindari percakapan sampingan. Percakapan sampingan itu lagi enak-enak bahas keadilan, tiba-tiba bahas harganya gorengan misalnya. Wah. gorengan sekarang kok mahal ya? Loh, tadi ngomong keadilan tiba-tiba ganti tentang gorengan. Jadinya gak produktif diskusinya nanti pikirannya terdistraksi

ke mana-mana. Jadi yo mungkin ada hubungannya dengan gorengan tapi kan gak ke situ fokusnya. Mungkin gorengannya ilustrasi saja tapi jangan dilanjutkan bahas gorengan. Arahnya untuk bahas keadilan tadi. Nah, itu jadi caranya begitu. kita itu mungkin semangat kadang-kadang bikin ccle diskusi semacam ini, tapi biasanya yang lebih ramai kan percakapan sampingannya. Jadi lagi asik-asikasih diskusi, eh gimana kamu sudah nembak apa belum sama yang itu? Terus bahas tembak-tembakan akhirnya kan lupa tema utamanya. Nah, ayo ya

sekali-sekali bikin semacam Socratic Circle di Circle kalian saja sendiri masing-masing. Berdua juga gak apa-apa. Mungkin yang di kos-kosan sekamar berdua latihan yo awalnya tema jangan berat-berat. Tema sederhana yang sama-sama menguasai terus saling menguji. Ini membuat kita produktif gak hanya cerdas. Jadi kita terlatih mengejar kebenaran dan memproduksi gagasan-gagasan baru meskipun tetap bertanggung jawab. Jadi boleh setuju, boleh tidak setuju. Ya, di situ ada kalimat yang sering dipakai oleh Sokrates. Misalnya, "I

agree with you but would like to add." Aku setuju, tapi saya ingin nambah beberapa fakta misalnya atau IDRE aku ndak setuju karena saya kok ketemu fakta seperti ini. Atau kalau bingung ya bilang, "I'm confused by. Aku bingung dengan kata-katamu yang tadi. Katanya A, tapi sekarang kamu bilangnya B." Nah, itu jadi kalimat-kalimat yang sering dipakai oleh Sokrates. Silakan dilatih gaya Sokrates ini yang orang mengenalnya sebagai metode dialog yang targetnya memang latihan menemukan kebenaran sendiri,

latihan berpikir yang filosofis. Baik, saya kira itu ya, Teman-teman. untuk malam hari ini tentang metode dialog. Minggu depan kita bagian terakhir dari kisahnya Sokrates ini kita akan membahas buku terakhir yang membahas kematiannya Sokrates yaitu apologi. Baik, saya akhiri sekian untuk malam hari ini. Kurang lebihnya mohon maaf. Wallahul muwafiq. Wallahu a'lamu bisawab. Wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.